Apa yang menyebabkan krisis ini demikian meluas hingga ke seluruh dunia?
Mungkinkah analisis solvensi terabaikan dari credit analysis, kebijakan bunga pinjaman yang terlalu tinggi,ataukah terciptanya bubble economy hingga krisis finansial global harus terjadi ?
Kasus subprime mortgage. Subprime mortgage adalah fasilitas KPR untuk golongan tidak mampu. Kasus Subprime mortgage ini berawal dari kredit perumahan yang skema pinjamannya telah dimodifikasi sehingga mempermudah kepemilikan rumah oleh orang miskin yang sebenarnya tidak layak mendapat kredit. Singkatnya, masalah solvensi sengaja diabaikan. Analisis solvensi bermaksud membantu menilai kemampuan debitur untuk membayar hutang jangka panjang (Konig and Brohm,2008; Bomhard, 2010; Coppola et al., 2011; Rossi, 2011). Dalam kasus ini, akad kredit disetujui tanpa melalui analisa kredit yang mendalam. Kredit begitu mudahnya dikucurkan hanya berdasarkan score credit yang dimiliki calon debitur. Oleh karenanya, pasar mengkarakteristikkan subprime mortgage ini sebagai high risk-high return
Bank menjual piutang-piutang nasabah? kepada institusi keuangan –sebagai pihak ketiga- dalam bentuk surat hutang yang bias diperjualbelikan. Surat hutang inilah yang disebut sebagai subprime mortgage, dimana keuntungan dan pengembalian pokok investasinya sangat ditentukan dari kelancaran kredit perumahan dari nasabah-nasabah bank tersebut. Jadi, subprime mortgage mendapatkan sumber dana dari pihak ketiga dengan jangka waktu pengembalian pendek, yaitu kurang dari lima tahun. Sementara, subprime mortgage sendiri merupakan KPR jangka panjang, yakni hingga 20 tahun. Jelas, dari awal bisnis ini sudah terjadi financing missmatch. Bisnis yang penuh dengan kolusi dan manipulasi! Namun demikian, tingkat bunga the Fed, sepanjang tahun 2002-2004 yang hanya sekitar 1-1,75 persen, membuat bisnis subprime mortgage dan perumahan booming. Tingginya bunga pinjaman subprime mortgage (pada saat bunga deposito rendah) menarik investor kelas kakap dunia (bank, reksadana, dana pensiun, asuransi) membeli surat hutang yang diterbitkan perusahaan subprime mortgage (KSEP ITB, 2008; Wardhana, 2008)
Seiring berjalannya roda perekonomian, harga komoditas dan suku bunga di AS naik secara bertahap. Ketika the Fed, mulai Juni 2004, secara bertahap menaikkan bunga hingga mencapai 5,25 persen pada Agustus 2007, kredit perumahan mulai bermasalah akibat banyaknya nasabah yang gagal bayar. Saat itulah efek subprime mortgage mulai terbongkar. Kredit macet sektor perumahan terus meningkat. Bahkan penyitaan aset properti mencapai 21 persen nilai kredit. Saat kredit perumahan menjadi macet sampai pada taraf yang mengkhawatirkan, otomatis institusi-institusi keuangan yang berinvestasi pada subprime mortgage mengalami kerugian besar. Kerugian yang besar berpotensi menggerus modal yang mengakibatkan timbulnya masalah solvensi (insolvensi). Inilah awal
kejatuhan ekonomi AS, karena pada dasarnya risiko investasi perbankan ataupun institusi keuangan bersifat sistemik, dalam arti kerugian institusi keuangan akan berdampak pada terpukulnya perekonomian negara
Akibat dari jatuhnya institusi keuangan tersebut berdampak pada kinerja saham mereka di bursa saham. Nilai saham terjun bebas, sehingga dampaknya juga ke indeks bursa saham AS, karena institusi keuangan memiliki kapitalisasi pasar yang cukup signifikan. Akhirnya, para investor mulai menarik dananya dari bursa, sehingga kejatuhan indeks bursa semakin parah. Karena banyaknya pihak yang mau menjual saham itulah yang mengakibatkan “anjloknya” harga saham dibursa. Mereka berani menjual murah, menjual rugi, asal bisa segera mendapat uang cash. Penarikan dana juga dilakukan di bursa-bursa global, karena umumnya pihak asing juga memiliki banyak dana di bursa asing (termasuk di Indonesia).
Inilah mengapa dampak kejatuhan bursa di AS juga mengimbas bursa-bursa di seluruh dunia, hingga menjadi krisis global (Anonymous, 2008)
Fenomena decoupling juga dapat diilustrasikan sebagai akibat dari maraknya bisnis transaksi maya (virtual transaction) melalui transaksi derivatif (derivative market) atau transaksi produk turunan. Transaksi derivatif diwarnai dengan perilaku investor di pasar modal yang ingin meraup keuntungan tanpa adanya underlying asset, atau tanpa ada sektor riil yang melandasinya. Tujuan investor bukan untuk menanam saham secara riil di sebuah emiten, tetapi semata untuk meraih keuntungan (gain) melalui praktek margin trading. Ironisnya, transaksi maya sangat dominan ketimbang transaksi riil. Transaksi maya bisa mencapai lebih dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi disektor riil berupa perdagangan barang dan jasa hanya sekitar lima persen saja
fenomena decoupling disebabkan fungsi uang bukan lagi
sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, akan tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS. Akibat fenomena tersebut ekonomi dunia rawan krisis. Pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang (modal) untuk kepentingan sektor riil, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang. Sebab, dalam transaksi derivatif, tidak ada sektor riil (barang dan jasa) yang diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi.
Kasus Lucent Technologies
Pelajaran yang dapat diambil dari kisah di atas adalah investasi yang berlebihan dapat menyebabkan kehancuran sebuah perusahaan. Akuisisi yang dilakukan oleh Lucent merupakan bentuk dari investasi yang berlebihan. Akuisisi yang dilakukan oleh Lucent telah gagal dalam menghasilkan keunggulan kompetitif karena menyatukan berbagai perusahaan untuk menghasilkan suatu inovasi bukanlah hal yang mudah, setiap perusahaan memiliki budaya dan karakteriktik yang tidak sama. Melakukan akuisisi bukanlah langkah yang salah, namun bila dilakukan dalam dosis yang terlampau banyak, perusahaan sebesar Lucent pun dapat jatuh tersungkur.
Pelajaran lain yang dapat dipetik adalah bahwa mindset masa lalu sebuah perusahaan harus berubah mengikuti perubahan jaman agar perusahaan tersebut dapat tetap berjaya. Lucent selalu berusaha membuat standar baru dengan mengeluarkan dana yang cukup besar. Dana tersebut dihabiskan dengan melakukan akuisisi dan riset. Lucent bersama Bell Labs-nya seolah-olah lupa bahwa era tahun 2000 bukanlah era yang sama seperti ketika mereka masih merupakan bagian dari AT&T. Pada masa lampau, terjadi monopoli sehingga semua produk yang dihasilkan oleh Bell Labs selalu menjadi standar baru yang diakui di Amerika Serikat. Mungkin sejarah akan berkata lain apabila dahulu Lucent beberapa kali lebih memilih untuk mengembangkan produk menggunakan standar yang sudah ada menjadi suatu produk yang lebih baik, tidak selalu berusaha membuat produk dengan standar baru.
Pada tahun 2002, Securities and Exchange Commission (SEC) mengajukan keluhan terhadap Xerox yang dianggap telah melakukan penipuan terhadap publik pada tahun 1997 hingga tahun 2000 karena mencantumkan informasi yang salah pada laporan keuangannya.
SEC menuduh manajemen Xerox mengetahui dan menyetujui tindakan manipulasi laporan keuangannya untuk menyamakan target penjualan dengan penjualan sebenarnya. Menghadapi gugatan dari SEC, Xerox tidak melakukan pembelaan maupun pengakuan namun setuju untuk membayar denda US$ 10 juta dan memperbaiki laporan keuangannya untuk tahun 1997 hingga 2000. Pada tahun 2003, enam manajemen senior Xerox dituduh melakukan penipuan, termasuk mantan CEO dan CFO Xerox. Mereka juga tidak melakukan pembelaan maupun pengakuan namun setuju untuk membayar denda US$ 22 juta
Pada kasus ini, apa yang dilakukan Xerox bukanlah penjualan fiktif, namun manajemen menggeser waktu pengakuan pendapatan sehingga pelaporannya tidak dilakukan pada waktu yang tepat. Yang dilakukan manajemen adalah mengubah cara pengakuan pendapatan dari leasing mesin fotokopi, dimana penjualan diakui pada saat kontrak leasing ditandatangani. Metode ini tidak tepat jika menggunakan standar akuntansi baku yang mengharuskan pengakuan penjualan secara sebagian-sebagian selama periode kontrak daripada sekaligus saat kontrak ditandatangani. Jadi masalah disini adalah mengenai kapan waktu yang tepat untuk mengakui pendapatan, bukan mengenai ada tidaknya pendapatan. Perbaikan laporan keuangan Xerox hanya mengubah pada tahun yang mana suatu pendapatan diakui, dan tidak mengurangi pedapatan secara agregat
Jika sekarang kita lihat, pada dasarnya apakah tindakan ini merugikan karena toh pada akhirnya tidak ada pengurangan pendapatan? Walaupun pada dasarnya apa yang dilakukan Xerox hanya “menggeser” waktu pengakuan pendapatan, namun hal ini menimbulkan efek yang besar sehingga tindakan ini sangat tidak dapat dibenarkan. Tindakan manajemen ini dapat memberikan kesan buruk pada perusahaan sehingga masyarakat tidak percaya pada perusahaan ini dan opini ini akan tercermin juga pada harga saham, dimana masyarakat berkurang minatnya untuk membeli saham ini. Bayangkan jika kita ingin membeli saham Xerox pada tahun 1999 berdasarkan laporan yang lama, maka harga yang kita bayarkan akan lebih besar dibandingkan nilai sebenarnya karena manajemen Xerox memberikan gambaran yang salah mengenai kondisi keuangan perusahaannya.
TERIMA KASIH
Salam Hangat,,
terimakasih unggahan artikelnya dek, sangat bermanfaat
BalasHapus