1.Bahasa Gambar
Apakah yang dimaksud dengan gambar (bhs Inggris = Picture) itu? Lalu bagimana membedakannya antara gambar (picture) dengan gambar (picture) yang dalam bahasa Inggris disebut photographs (bhs Indonesia = foto)? Gambar atau picture dalam istilah umum adalah suatu hasil coretan tangan manusia dalam dua dimensi. Hasil karya yang semacam itu lazimnya disebut lukisan/gambar. Sedangkan gambar atau Photographs adalah gambar dari suatu peristiwa yang terjadi atau “dijadikan” yang pengerjaannya melalui proses photography. Untuk membedakan dan mempermudah pemahaman kiranya lebih baik dipakai istilah lukisan untuk gambar hasil coretan tangan, dan foto untuk gambar hasil proses photography atau hasil jepretan kamera foto.
Lukisan adalah karya seorang seniman lukis. Sedangkan foto adalah karya seorang photographer yang bekerja menggunakan kamera foto yang mencoba menangkap, membekukan, mencipta kembali atau membentuk kembali suatu realitas atau kenyataan. Realitas atau kenyataan itu adalah suatu peristiwa diluar kita yang mempunyai sifat dinamis, tidak pernah sama dan selalu berubah di dalam ruang dan waktu. Gambar – dalam hal ini foto – mencoba menampilkan kembali atau memproduksi kembali sebagian saja dari realitas besar atau kenyataan tersebut. Dengan kata lain gambar (foto) yang dibuat adalah representasi dari suatu realitas yang sangat besar.
Sebagai sebuah representasi dari realitas besar tentu saja bukan realitas itu sendiri melainkan menjadi sesuatu ungkapan yang bersifat simbolis artinya bahwa keberadaannya merupakan bagian kecil dari realitas besar yang berada di luar dari gambar itu. Foto adalah realitas kecil yang melepaskan diri atau dfilepaskan dari dimensi ruang dan waktunya sirealitas besar, yang kemudian pada saat ini – ketika seseorang menyaksikannya - menjadi sebuah bukti (dokumen) dari suatu realitas dari masa yang sudah lampau, atau menjadi cermin yang mempunyai kandungan sebuah kenangan. Selain itu orang juga sering menyebutnya bahwa gambar (foto) merupakan ungkapan non-verbal dari suatu aktifitas komunikasi.
Dengan demikian bisa dikatakan pula bahwa gambar (foto) merupakan bahasa yang universal yang mempunyai kemungkinan bisa dipahami oleh semua orang yang terbiasa – yang mempunyai kesamaan referensi tentang sesuatu itu – meskipun berbeda asal-usul kebangsaannya. Tentu saja tidak semua orang akan mendapatkan kesan yang sama dari sebuah gambar (foto) yang sama. Namun seringkali kita mendengar ungkapan bahwa sebuah gambar yang baik mempunyai nilai seribu kata karena gambar bisa berkata jauh lebih banyak dari pada satu paragraph penjelasan tertulis yang bagus.
Selain itu sebuah gambar juga bisa mempunyai seribu makna. Berdasarkan proses produksinya, sebuah gambar tercipta selalu bergantung pada teknologi yang digunakan. Misalnya penggunaan lensa yang berbeda, pembingkaian yang berbeda, penggunaan tipe film yang berbeda, proses pencetakan yang berbeda, teknik penyinaran yang berbeda, bisa menimbulkan kesan yang berbeda pula. Juga perbedaan cara pandang atau pikiran yang tersembunyi dari si seniman foto terhadap obyek garapannya, bisa berpengaruh pada karya yang dihasilkan Itulah sebabnya mengapa makna sebuah gambar (foto) menjadi sangat subyektif.
Sebuah gambar mempunyai sifat yang paradoxal. Kita bisa mengidentifikasi secara terperinci sebuah gambar - apa saja isi visualnya – namun selalu saja ada sesuatu yang tidak dapat diketahui atau informasi yang tidak lengkap dari gambar yang kita lihat itu.
Disebabkan oleh adanya informasi yang tidak lengkap itu, banyak orang sering menjadi kebingungan dan salah interpretasi dalam membaca sebuah gambar. Bagaimana membaca sebuah gambar, menjadi suatu ketrampilan yang tidak kalah penting dibandingkan dengan belajar bagaimana membaca sebuah karya sastra.
Suatu hal yang penting untuk diperhatikan yaitu bahwa sebuah gambar itu menuntut respons atau tanggapan. Gambar memancing dan merangsang timbulnya suatu makna. Makna adalah produk dari pola pengakuan dan pengenalan kembali atau merupakan tanda berwujud visual yang mengingatkan seseorang tentang suatu pola yang sudah dikenali penonton tentang pengalaman nyata di masa lalu. Sebuah gambar bisa menimbulkan berbagai macam interpretasi dari penonton yang berbeda. Dengan demikian sebuah makna pada dasarnya juga suatu hal yang subyektif. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa makna merupakan deskripsi (pengungkapan) verbal yang subyektif dari sebuah gambar (foto) dan itulah bahasa gambar.
2. Lalu apakah yang dimaksud dengan photolanguage?
Photolanguage atau bahasa foto adalah studi tentang gramatika gambar. Jika kita memahami gramatika gambar, kita menjadi lebih mudah membaca gambar, mudah menganalisis dan menginterpretasikan gambar. Dengan demikian bisa diharapkan bahwa jika kita mengetahui bagaimana membaca dan menganalisis dengan cermat suatu foto kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kita juga bisa membaca suatu realitas.
Gambar adalah medium komunikasi non verbal. Dengan sebuah kamera, baik kamera yang memakai film ataupun digital, baik yang diam (still photo) maupun yang bergerak (seluloid atau video), bisa “mengabadikan” apa saja yang bisa kita lihat dalam kenyataan hidup sehari-hari untuk dipindahkan menjadi gambar. Dengan demikian gambar yang kita rekam tersebut adalah representasi dari sebuah realitas, namun bukan realitas itu sendiri karena realitas yang ada di dalam gambar hasil rekaman itu hanyalah sebagian saja dari realitas yang lebih besar atau realitasyang jauh lebih kaya dari pada realitas yang ada di dalam gambar. Selain itu realitas di dalam gambar hanyalah realitas yang dua dimensi, sementara realitas yang sebenarnya adalah tiga (3) dimensi.
Dengan peralatan rekaman baik kamera photo maupun kamera video, siapapun dia telah melakukan pembatasan “gerak” dinamis dari realita dunia. Sementara itu, dunia selalu bergerak dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari dan seterusnya. Dunia yang sebenarnya tidak pernah sama. Oleh karena itu apa yang dilakukan dengan alat rekam sebenarnya adalah perbuatan “menghentikan” gerak atau dinamika dunia.
Maka hasil rekaman itu, pada masa berikutnya sudah menjadi dokumen tentang masa lalu. Misalnya; kita bisa menyaksikan suasana yogya pada tahun 1920, dengan melihat foto atau rekaman gambar bergerak pada film yang di buat pada tahun itu.
Photo ataupun film (saat ini lebih banyak memakai video) adalah sebuah bentuk komunikasi non verbal. Sebagai alat komunikasi tentu saja selalu ada pesan yang ingin diekspresikan oleh seorang fotografer atau seorang sinematografer. Itu berarti hasil karya foto ataupun karya sinematografi sangat ditentukan oleh pembuatnya. Apa yang masuk dan apa yang tidak masuk di dalam bingkai atau frame ditentukan oleh kameramennya.
Seorang kameramen, sebagaimana manusia pada umumnya melihat kehidupan nyata ini
secara selektif. Apa yang dilihatnya adalah yang memang diinginkan untuk dilihat. Secara subyektif ia memilih apa yang ingin dilihat. Kamera tidak dapat demikian. Kamera akan melihat semua yang terdapat di depannya.
Kamera adalah perpanjangan mata seorang kameramen. Subyektifitas seorang kameramen dalam melihat realitas sebuah realitas diekspresikan melaluai kamera. Dengan berbagai teknik, seorang kameramen mengontrol subyek atau obyek agar menimbulkan tertentu supaya apa yang dimaksudkannya bisa ditangkap dan dipahami oleh orang yang melihat hasil rekaman itu.
Agar memahami makna yang terkandung di dalam gambar hasil rekaman (baik foto maupun video) tidaklah mudah. Kendatipun seseorang merasa mengerti tentang sesuatu yang terdapat di dalam gambar, tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa dipahami. Karena itu, sebuah gambar menjadi sangat tergantung kepada siapa yang menginterpretasikan. Penonton yang melihat gambar tertentu akan menginterpretasikan gambar tersebut menurut pikirannya yang didasari oleh pengalaman hidupnya atau pola pikirnya hingga mempunyai kesan tertentu.. Dengan demikian penonton juga subyektif.
Untuk mengarahkan penonton memahami suatu maksud, seorang kameramen perlu mengontrol subyek yang ada dengan memanfaatkan semua elemen-elemen fotografis seperti garis, bentuk-bentuk, bayangan, kontras, warna, angle, gerakan, komposisi., simbol-simbol visual lain , untuk memunculkan suatu kesan tertentu. Kameramen “menangkap” sebuah realitas menurut sudut pandangnya dan kemudian memperlihathannya kepada penonton. Kemudian penonton mencoba mengerti atau memahami berdasarkan pengalamannya.
Sebagai contoh; di suatu tempat terjadi bentrokkan fisik antara sekelompok mahasiswa yang sedang berdemonstrasi dengan sekelompok polisi. Andaikan saja kita ingin menyajikan peristiwa tersebut kepada penonton televisi dengan merekamnya dalam format MSL (medium long shoot) yang memperlihatkan hampir seluruh kejadian tersebut selama 2 menit. Dari rekaman tersebut meskipun banyak orang mengerti apa isinya, namun masih banyak juga informasi yang tidak bisa diketahui. Barangkali muncul pertanyaan-pertanyaan apa penyebabnya? Siapa yang memulai?, Berapa korbannya? dan sebagainya. Kemudian berdasarkan pengalaman hidup masing-masing, penonton akan mencoba memahami rekaman tersebut dengan pikirannya. Bagi mereka yang mempunyai pengalaman buruk terhadap mahasiswa akan mengatakan bahwa mahasiswa anarkis. Sedangkan yang mempunyai pengalaman buruk terhadap polisi akan mengatakan polisi represif dan kejam. Atau barangkali juga akan ada yang mengatakan kedua-duanya brutal.
Berdasarkan realitas di atas, seorang kameramen bisa menyampaikan pesan berdasarkan sudut pandangnya. Jika ia ingin menyampaikan pesan bahwa polisi itu memang kejam. Maka dengan teknik fotografi seperti angle, framing, komposisi dan sebagainya ia akan lebih banyak memunculkan bagian-bagian peristiwa yang menunjukkan kekejaman polisi dan tidak mengambil sudut pandang yang bisa menampakkan di bagian lain di mana mahasiswa sedang melempar bom molotov dan mengenai polisi hingga terbakar. Maka penonton yang menyaksikan rekaman tersebut pasti akan membangkitkan kebencian mereka terhadap polisi. Demikian juga sebaliknya kalau kamera lebih banyak diarahkan pada aksi mahasiswa yang anarkis kesan penonton tentu saja berbeda.
Belajar “membaca” gambar untuk belajar “menulis” dengan gambar.
Kamera foto maupun video adalah media rekam. Untuk menyampaikan pesan, pikiran, maksud, informasi dan sebagainya, seorang kameramen harus mampu “menuliskan” apa yang ingin disampaikan ke dalam gambar dengan menggunakan elemen-elemen visual agar penonton bisa “membaca” dan kemudian mengerti maksudnya. Agar bisa “menulis” dengan baik seyogyanya mengerti lebih dahulu bagaimana “membaca” gambar. Untuk mempertajam kejelian dan membiasakan diri berfikir secara visual baik kiranya berlatih menganalisis berbagai gambar karya orang lain terutama gambar-gambar karya kameramen ternama. Salah satu cara menganalisis gambar adalah dengan melalkukan 3 langkah yaitu; Inventarisasi, diskripsi dan verbalisasi.
- INVENTARISASI
- DISKRIPSI
- VERBALISASI.
Dengan selalu membuat semacam evaluasi dan menganalisis setiap melihat gambar, kepekaan terhadap gambar akan semakin terlatih. Dengan demikian pada saatnya menjadi mudah apabila ingin mengkomunikasikan secara visual ide-ide dengan menggunakan gambar dan gambar yang diciptakan menjadi komunikatif.
Untuk melakukan rekaman gambar, sebelum memutuskan untuk menekan tombol record, sebaiknya kameramen melakukan analisis terlebih dahulu apa yang terlihat melalui view finder, dengan mengingat langkah-langkah analisis gambar secara terbalik, yaitu; Verbalisasi, Diskripsi dan Inventarisasi. Kameramen hendaknya mempertimbangkan dahulu apa yang ingin disampaikan (Verbalisasi). Kemudian untuk “menuliskan” ide, apakah ada bagian dari elemen-elemen gambar yang perlu ditonjolkan?, Apakah yang akan menjadi Ground dan Apakah yang akan menjadi Figur? (Diskripsi) Dan selanjutnya, melalui View Finder analisislah apa saja elemen-elemen gambar yang bisa memperkuat kesan (Inventarisasi). Dan setelah itu ditentukanlah bagaimana Anglenya, Bagaimana pembingkaiannya? (Framing), Bagaimana Close Up-nya, komposisinya dsb.
3. Bagaimana memilih angle yang baik
Jika Anda melihat sesuatu yang menarik untuk difoto, organ tubuh yang pertama perlu bergerak adalah kaki, bukan tangan. Mengapa? Karena Anda mungkin perlu bergerak memutari obyek dulu untuk mendapatkan angle dan komposisi yang maksimal. (Tentu saja, hal ini bisa diabaikan jika timing atau sikonnya tidak mengizinkan kita untuk bergerak sebelum memotret.)
Bagi saya, angle dan komposisi adalah kunci untuk mendapatkan foto yang bagus. Dengan komposisi yang bagus, obyek yang sederhana (atau bahkan sepele) pun bisa disajikan dengan cantik. Sebaliknya, dengan komposisi atau angle yang jelek, obyek yang luar biasa pun akan terlihat nanggung atau kurang pas jika dipajang di dinding.
Sebenarnya apa yang saya maksud dengan angle dan komposisi?
Sebenarnya, angle dan komposisi mengacu ke satu hal yang sama: bagaimana sebuah foto diambil/dibuat. Angle mengacu ke fotografer dan kamera: arah dari mana foto tersebut diambil. Sedangkan komposisi mengacu ke hasil fotonya: bagaimana elemen-elemen dalam foto tersebut disusun/diatur sehingga menghasilkan keseluruhan gambar yang menarik atau kuat. Angle menentukan komposisi; begitu juga untuk mengubah komposisi diperlukan perubahan angle.
Secara umum, bisa dikatakan pemilihan angle dilakukan sebelum pemilihan komposisi. Pilihan angle sangat banyak: seorang fotografer bisa memutuskan untuk mengelilingi sebuah obyek 360 derajat, bahkan terkadang ada pilihan untuk mengambil angle dari atas atau pun dari bawah. Setelah memutuskan dari arah mana ia akan memotret, barulah sang fotografer mengangkat kamera ke matanya, membidik obyek, dan menggeser2 sedikit kameranya untuk mengubah letak obyek (dan obyek-obyek lain, termasuk foreground atau background) untuk mencapai komposisi yang ideal. (Walaupun tidak menutup kemungkinan sang fotografer ternyata harus bergeser dan mengubah angle sedikit lagi untuk mencapai komposisi yang lebih ideal. Misalnya, karena ternyata dari angle yang ia pilih obyeknya akan kurang kontras dibanding background.)
4. Seperti apakah angle yang bagus itu?
Angle yang bagus adalah angle yang bisa menyampaikan apa yang Anda ingin sampaikan dengan sebaik-baiknya.
Mungkin terdengar sederhana, tapi ada satu pesan penting yang sering dilupakan orang: bahwa Anda pertama-tama harus tahu dulu apa yang Anda ingin sampaikan. Jadi, langkah pertama adalah: visualisasi. Misalnya pemotretan terhadap seekor burung terdapat pilihan untuk mengambil foto burung tersebut dari arah depan atau samping (dengan derajat yang bervariasi); selain itu juga bisa memotret burung itu sambil berdiri (angle dari atas ke bawah), atau bisa bisa juga jongkok dan memotretnya dari samping (sejajar). Apakah angle dari atas ke bawah itu jelek? Apakah angle dari depan itu jelek?
Bayangkan Anda melihat seorang tunawisma sedang tidur di trotoar. Anda punya pilihan untuk mengambil fotonya tegak lurus dari samping (sehingga badannya melintasi frame), atau dari arah kepala ke kaki, atau dari arah kaki ke kepala; begitu juga Anda bisa memotret dari atas ke bawah, atau sejajar (mungkin perlu jongkok?). Mana yang lebih bisa menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan (rasa kasihan, rasa kagum, atau sekedar snapshot kehidupan?).
Ada beberapa “aturan” yang bisa diikuti tentang pengambilan angle; misalnya, angle dari atas ke bawah biasanya menggambarkan XXX, atau angle dari bawah ke atas akan memberikan kesan YYY, tetapi hal tersebut tidak begitu penting untuk dihafalkan. Lebih baik mencoba sendiri dan melihat hasilnya. Janganlah suka mengurung kreatifitas Anda dengan mengajari bahwa angle begini akan menghasilkan kesan begitu. Siapa tahu Anda bisa menemukan penggunaan angle yang menimbulkan efek yang berbeda dari yang selama ini dipakai.
5. Apa yang sebaiknya digunakan sebagai background atau foreground?
Pilihan angle mempengaruhi apa yang masuk dalam frame, bahkan jika hanya sebagai background yang tidak focus sekalipun. Dalam kasus tunawisma di atas, jika Anda mengambil angle tegak lurus, maka mungkin yang masuk dalam frame Anda hanyalah tunawisma tersebut dan sepotong trotoar dan tembok. Jika Anda mengambil angle lebih miring, maka mungkin sebagian dari pemandangan jalanan akan terekam juga dalam frame Anda.
Background/foreground apa yang memperkuat foto?
Apakah pemandangan jalanan tersebut akan membantu memperkuat foto Anda? Ini kembali tergantung pada apa yang ingin Anda sampaikan. Apakah Anda lebih suka jika fotonya simpel dan hanya berisi sang tunawisma, trotoar dan tembok saja? Terserah Anda.
Apakah obyek cukup kontras dengan background?
Foto cenderung menjadi lebih kuat jika obyek bisa teridentifikasi dengan jelas; antara lain dengan membuat kontras yang cukup tinggi antara obyek dengan background
6. Tips mengembangkan keterampilan fotografi.
- Selalu membawa kamera
- Foto Lebih Banyak Lagi
- Percaya pada Mata Anda
- Latih Mata Anda
- Kenali Kamera Anda
- Frame & Komposisi
a. Aturan pertama
Selalu pastikan objek foto sedikit melenceng dari titik pusat komposisi foto – baik secara horisontal maupun vertikal. Hal ini akan menjadikan foto lebih dinamis dan “memaksa” mata untuk mengamati keseluruhan foto saat foto diperhatikan.
b. Aturan kedua
Jika Anda mengambil foto pemandangan, pastikan garis horizon tidak membelah foto menjadi dua. Selain itu, pastikan tidak ada elemen vertikal yang bisa melakukan hal yang sama. Garis-garis lain dalam foto juga tidak boleh memiringkan komposisi foto (kecuali objeknya memang begitu).
c. Aturan ketiga
Pastikan objek yang Anda foto menghadap ke arah depan. Ini berarti harus ada lebih banyak ruang di depan objek dibanding di belakangnya.
d. Aturan keempat
Jika dimungkinkan, letakkan sesuatu di depan foto Anda. Ini akan menambah unsur dramatis dalam foto, memberikan titik referensi bagi objek dan menambah kedalaman foto.
e. Aturan kelima
Usahakan agar latar belakangnya sederhana agar tidak mengalihkan mata dari objek yang seharusnya dilihat.
f. Aturan keenam
Anda tidak harus mengambil seluruh bagian objek ke dalam foto. Terkadang, teknik ini menambah rasa penasaran terhadap maksud foto tersebut.
g. Aturan ketujuh
Aturan yang disebut Rule of Thirds. Aturan ini digunakan untuk mendisiplinkan beberapa aturan sebelumnya. Bayangkan foto dibagi oleh beberapa grid yang membentuk sembilan kotak yang sama besar. Jika objek diletakkan pada empat kotak yang saling bersinggungan, komposisi foto pasti lebih baik. Ini juga mencegah objek foto berada di tengah foto. Masih dengan blok yang sama, jika Anda menempatkan horizon foto sejajar dengan garis horizon atas atau bawah, otomatis Anda telah menaati Aturan 2 (Horizon tidak boleh membelah foto). Singkatnya, gunakan garis grid ini sebagai panduan horizontal dan vertikal, serta gunakan empat blok yang berdekatan untuk menjaga objek agar tidak terlalu terpusat di tengah foto.
7. Memahami Pencahayaan
Fotografi adalah lukisan dengan menggunakan cahaya. Maka, hal terpenting dalam fotografi adalah pencahayaan. Sekilas memang pencahayaan ini terkesan sulit, tapi pada dasarnya, penyetelan banyak - sedikitnya cahaya yang akan masuk dalam lensa kamera nggak begitu rumit. Kamera digital memang memiliki penyetelan cahaya secara otomatis, yang apabila di tempat terang ia akan menyesuaikan setelan rana menjadi lebih sempit sehingga hasil gambar akan normal, alias nggak berlebih cahaya (over-exposure). Tapi bagaimana di tempat gelap? Realitanya, kebanyakan kamera saku belum mampu mengatasi masalah pemotretan di tempat gelap. Dengan setelan shutter yang relatif cepat disertai dengan kondisi cahaya minim, hasil foto pasti akan buram. Solusi untuk ini tentu saja dengan memilih kecepatan rana rendah.
- Memotretlah Tanpa Flash
Hal diatas sangat mudah dipahami, sekarang konsentasikan teknik pemotretan ke pemilihan penempatan obyek dalam gambar. Umumnya pandangan seseorang akan tertumpu pada obyek yang berada di tengah. Dengan kata lain, obyek yang di posisikan berada di tengah gambar akan mudah terlihat kekurangannya. Untuk mengecoh pandangan penikmat foto, coba ubah penempatan posisi obyek supaya nggak pas di tengah gambar.
- Menjelajahi Sudut
- Jangan Tantang Matahari
8. Fotografi Jurnalistik
Terdapat beberapa pengertian mengenai fotografi jurnalistik yang dikemukakan oleh para ahli fotografi. Menurut Hanapi yang dimaksud dengan fotografi jurnalistik yaitu kegiatan fotografi yang bertujuan merekam jurnal peristiwa-peristiwa yang menyangkut manusia. Wilson Hick dalam bukunya Word and Picture memberi batasan fotografi jurnalistik adalah media komunikasi verbal dan visual yang hadir bersamaan. Sedangkan Soelarko mendefinisikan foto jurnalistik sebagai foto berita atau bisa juga disebut sebagai sebuah berita yang disajikan dalam bentuk foto. Sementara itu Oscar Motuloh, fotografer senior Biro Foto LKBN Antara Jakarta menyebut foto jurnalistik adalah medium sajian untuk menyampaikan baragam bukti visual atas suatu peristiwa pada suatu masyarakat seluas-luasnya,
Dilihat dari beberapa pengertian yang ada maka foto jurnalistik dapat disebut sebagai suatu sajian dalam bentuk foto akan sebuah peristiwa yang terjadi, di mana peristiea tersebut berkaitan dendan apek kehidupan manusia dan disampaikan guna kepentingan manusia itu sendiri. Kepentingan manusia dalam hal ini berupa kebutuhan akan informasi atau juga beita yang terjadi di seluruh belahan bumi ini.
Syarat umum untuk membuat foto berita dengan baik adalah:
- Memiliki konsep tentang isi (picture content, news content)
- Memiliki keterampilan teknis: mempersoalkan penyajian teknis yang matang secara fotografi.
Suatu foto memang tidak bisa melukiskan keterangan-keterangan verbal yang diperoleh wartawan di lapangan, tapi dengan kemampuan visualisasi yang disuguhkan, sebuah foto bisa mengungkapkan pandangan mata yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Berbeda dengan berita tulis di mana wartawan bisa secara tidak sengaja memasukkan subjektivitas yang bisa memengaruhi opini. Dengan foto akan memperkecil subjektivitas tersebut.Kepada pembaca disuguhkan secara visual apa adanya. Pembaca akan memberi penafsiran terhadap foto tersebut; yang tentu saja satu dengan lainnya bisa berbeda. Maka tidaklah salah ungkapan “one picture paints thousand words”
- Foto Jurnalistik Yang Menarik
Dari hasil pengamatan mereka, disimpulkan bahwa gambar/foto jurnalistik yang menarik itu harus mempunyai tiga aspek utama : daya tarik visual (eye catching), isi atau arti (meaning) dan daya tarik emosional (impact).
Namanya saja foto berita maka norma-norma atau nilai-nilai yang disandang suatu berita (tulis) yang menarikpun juga dituntut bagi sebuah newsphoto; seperti faktor-faktor yang menambah nilai/bobot foto tersebut, antara lain : sifatnya menarik (interesting), lain dari biasanya (different), satu-satunya (exlusive), peristiwanya dekat dengan pembaca (close to the readers), akibatnya luas, mengandung ketegangan (suspense) dan menyangkut masalah sex, humor, konflik dll.
Dari batasan-batasan foto jurnalistik itulah maka kemudian para jurnalis foto memfokuskan perhatinnya pada hal-hal yang tersirat di dalam kriteria itu. Untuk menjadikan diri sebagai jurnalis foto profesional maka seorang wartawan perlu memerhatikan hal-hal tersebut, disamping mesti memperdalam pengetahuan dan memperbanyak pengalaman. Seorang wartawan foto dituntut tahu benar tentang kamera dan proses fotografi, tahu pula memanfaatkan kesempatan yang baik untuk kameranya serta harus cekatan agar tidak tertinggal oleh peristiwa. Wartawan foto mesti mampu mengkombinasikan kerja mata, otak dan hati dalam tugasnya. Sebagaimana tujuan surat kabar yaitu memberikan kepada pembacanya informasi, edukasi, entertaintment dan (bisa) persuasi, maka bidang cakupan wartawan foto sangatlah tidak terbatas. Apa saja yang bisa memenuhi salah satu saja dari keempat kriteria tersebut dapat disajikan. Jadi dalam hal ini si wartawan-lah yang memegang peranan penting. Ada ungkapan ’the singer is not the song’ atau ’the man behind the gun’. Bukan objek fotonya yang menarik tapi bagaimana kemampuan si wartawan mengungkapkan dalam foto. Bukan kameranya yang hebat, tapi bagaimana kepiawaian sang wartawan foto menghasilkan gambar yang memenuhi banyak kriteria tersebut di atas.
- Kategori dan Bidang-bidang Foto Jurnalistik
- Makna dan Peranan Foto Jurnalistik
- Perbedaan Foto Jurnalistik dengan Foto Dokumentasi
Antara foto jurnlistik dengan foto dokumentasi memiliki perbedaan dan batasan yang sangat tipis. Nilai berita pada sebuah foto biasanya terletak pada sejauh mana foto itu dapat menggugah perhatian dari khalayak umum, bukan hanya orang atau kelomppok masyarakatyang bersngkutan. Nilai tersebut bisa disebut sebagai publik interest, maka semakin tinggi nilai beritanya. Foto jurnalsitik memiliki nilai berita yang sangat tinggi karena dapatr menmbiu[ulkan perhatian perasaan bahkan reaksi tertentu pada semua khalyak umum secara luas.
Berbeda pada foto dokumentasi, arti kata dokumentasi mengandung konotasi yang lunak dalam hal nilai beritanya. Selain perbedaan, di antaranya foto jurnalistik dan foto dokumentasi memiliki persamaan yaitu dari segi tujuan foto terserbut. Tujuan kedua foto jurnalistik dan foto dokumentasi merekam suatu peristiwa untuk disimpan sebagai arsip.
Menurut Hermanus Priatna ( Editor Foto di Biro Foto LKBN Antar 0 menyatakan bahwa foto jurnalistik dan foto dokumentasi memiliki perbedaan. Pada foto jurnalistik, peristiwa diabadikan untuk secepat-cepatnya disampaikan kepada khalayak melalui mdia massa, sedangkan foto dokumentasi mengabadikan peristiwa untuk kepentingan pribadi, misalnya foto-foto untuk keperluan isntansi pemerintah atau individual.
9. Petunjuk Praktis
Untuk wartawan foto atau calon, Kenneth Blume, seorang wartawan foto dan penulis pada harian ‘Courier-Crecent’ (Ohio, AS) memberi penegasan, bahwa gambar yang baik pada surat kabar adalah yang segera menarik perhatian pembacanya. Berdasar pengalamannya dia memberikan petunjuk praktis bagaimana sebaiknya membuat foto berita itu.
- Usahakan tidak menampilkan lebih dari lima orang dalam satu gambar.
- Biarkan gambar kelihatan natural (alami/apa adanya), jangan dibuat-buat atau direkayasa.
- Lebih baik menghabiskan banyak frame untuk memungkinkan banyak pilihan dari pada tidak mendapat gambar yang baik.
- Usahakan tidak memuat gambar ”police line up” (beberapa orang disejajarkan menghadap lensa dengan latar belakang tembok kosong).
- Gunakan background atau latar keliling untuk menambah daya tarik dan memudahkan pembaca mengenal lokasi atau posisi kejadian.
- Untuk menamba variasi atau daya tarik lain, bisa memotret dengan gaya ’frog eyes’ atau ’bird view’.
- Gunakan penerangan alami atau bounced flashlight (sinar blitz yang dipantulkan ke langit-langit). Kalau bisa hindari penggunaan lampu kilat langsung.
- Usahakan untuk menunjukkan situasi beritanya, kalau mungkin.
10. Peraturan dan etika jurnalistik
Ada beberapa peraturan dan etika untuk menyiarkan foto itu kepada publik seperti adanya beberapa hak pokok individu yang dilindungi undang-undang dan hukum yang sangat prinsipil untuk melindungi seserang antara lain:
- Gangguan atas pengambilan foto dimana hak privacy seseorang memang diperlukan
- Penggunaan foto untuk kepentingan sebuah produk tertentu
- Sepihak sehingga menyebabkan seseorang terlihat buruk
- Pengambilkan foto yang memang terjadi akan tetapi foto tersebut bersifat pribadi atau bisa memalukan seseorang
11. Peraturan dalam pengambilan gambar pada lokasi tertentu
Tempat umum
Ada etika dan aturannya jika kita ingin mengambil foto di tempat umum, seperti di pinggir jalan, kebun binatang, bandar udara, juga di lingkungan kampus ataupun sekolah di mana bila kita mengambil dalam kelas itu.
Dalam kegiatan umum kita juga bisa membuat foto selama tidak mengganggu pekerjaan orang itu seperti polisi yang sedang mengatur lalu lintas dan lain-lain. Adakalanya beberapa orang berusaha menghalangi wartawan kendati kehadiran tersebut berlangsung di tempat umum, dalam hal ini, pengadilan melindungi kepentingan wartawan.
Bila suatu peristiwa terjadi di tempat umum seperti kecelakaan pesawat udara yang kelak akan melibatkan polisi ataupun petugas keamanan yang lain dan wartawan yang akan meliput dihalangi, kebanyakan wartawan merasa keberatan atas larangan itu. Karena nantinya wartawan bisa didakwa dengan alasan menghalangai pekerjaan petugas. Memang polisi punya hak demikian, tetapi pengambilan gambar dan bertanya sebenarnya bukan tindakan yang melanggar hukum. National Press Photographers Associates (NPPA) berusaha meningkatkan saling pengertian antara polisi dan wartawan sejak tahun 1950.
Gedung tertentu walaupun milik umum seperti gedung DPR, MPR ,Pemda dan Rumah sakit, markas militer dan penjara, tentunya punya aturan khusus, Seperti Rumah Sakit misalnya kita dapat membuat berita bergambar tapi setelah itu haruslah dicek dulu apakah ada orang dalam gambar tsb, apakah orang tersebut merupakan pasien yang teridentifikasi
Ruang sidang DPR ataupun sidang MPR sudah pasti milik umum tapi di sana punya aturan khusus, misalnya kamera televisi boleh masuk tapi fotographer tidak diijinkan ikut sidang regular dengan alasan wartawan mungkin dan pasti akan merekam anggota dewan yang menguap, tidur, senang sms dan telepon, baca koran dan bahkan yang tidak hadir sekalipun.
Biasanya dalam sidang–sidang tertentu dibuat aturan khusus, apabila sidang tengah diperkarakan peristiwa besar misalnya, mereka hanya memberikan tiga kesempatan kepada para wartawan yakni kesempatan sebelum sidang dimulai, saat istirahat dan saat persidangan selesai.
Ada tiga faktor yang menjadi pegangan dasar, apabila kita memutuskan soal etika ketika akan mempublikasikan ataupun menyiarkan sebuah gambar ke masyarakat umum. 3 faktor tsb:
- Manfaat
- Mutlak
- Gabungan antara manfaat dan mutlak
Berikut ini akan dijabarkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEW). Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat diperlukan suatu landasan/moral/etika profesi yang bias menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalisme wartawan. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan kode etik.
- Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperolah informasi yang benar.
- Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informsi serta memberikan identitas kepada sumber informasi
- Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
- Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
- Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahgunakan profesi
- Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
- Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.
Sepuluh Pedoman Penulisan tentang hukum :
- Asas praduga tak bersalah (presumption of innocene)
- Asas adil, fair dalam memberitakan kepada kedua belah pihak
- Inisial bagi tersangka/tertuduh yang masih gadis/wanita yang menjadi korban pemerkosaan, remaja (perkara susila, korban narkotika). Belakangan ini media sudah tidak mempedulikan lagi dengan inisial
- Anggota tersangka tidak disebut dalam pemberitaan
- Proses hukum yang wajar
- Menghindari trial by the press
- Jangan memburuk-burukkan tersangka
- Tidak berorientasi posisi/jaksa centre tetapi memberikan kesempatan yang berimbang kepada polisi, jaksa, hakim, pembela dan tersangka.
- Proporsional
- Gambaran yang jelas mengenai duduk perkara (kasus posisi)
Referensi:
Handout training SAV Puskat, Tulisan Budiyanto
Salam Hangat,
Dek' Widya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar